Untuk pertama kalinya aku berhenti di ruas jalan yang kukenal seperti telapak tanganku. Di tengah gerimis yang lagi-lagi tak ramah, pandanganku jatuh padanya. Lelaki tua yang duduk begitu saja di pinggir jalan, dengan mata yang tertutup, entah pagi siang pun malam. Dia mungkin terlahir buta atau bila dia beruntung (sekaligus sial) hilang pengelihatannya baru jatuh pada tahun kesekian hidupnya. Pernah mengecap paparan sinar matari yang kian mencecar, namun tak menghakimi.
Aku mereka ulang kejadian ini di tempat duduk yang sama, penggalan sendja yang sama, hari yang kembali Rabu. Sofanya masih terasa empuk, walau entah ada sisi dalam tubuhku yang nyeri sejadi-jadinya.
Kembali ke lelaki tua itu. Konon kabarnya ia selalu duduk disana sampai sendja yang indah usai mempesona mereka-mereka yang bisa melihat. Saat itulah isterinya akan datang, turun dari sebuah angkutan yang sesak-sesakan, mirip kaleng sarden. Tiap sendja yang sama, sang isteri turun tanpa perlu dibimbing, karena ia ingat kaki mana yang harus turun terlebih dahulu, tanpa perlu melihatnya. Ya, isteri lelaki tua itu juga buta. Keajaiban memang, mereka berdua menjalani rutinitas itu tiap hari. Sepertinya alam yang ingatkan mereka, karna waktu memang nyaris selalu kurang ajar, apalagi pada mereka yang tidak bisa melihat putaran jam. Keajaiban memang, konon anak mereka yang jumlahnya tiga itu, terlahir sempurna tanpa cacat mata.
Aku masih disini, hanya saja tidak minum kopi. Aku minum Equil yang katanya impor, diberi strata lebih tinggi dari Aqua, Ades...atau A-lainnya. Sudah waktunya minum obat, walau tak jelas apa nanti masih ingat makan.
Lelaki tua itu selalu setia. Tak perduli suatu apapun, mereka berdua selalu setia. Teringat tadi kata Raden tentang pacar kakaknya yang dikatakan bitchy.
Dia berkata, ”Itu kan masa lalu, semua orang bisa berubah.”
Lalu kataku, ”Itu memang pilihan orang ya den, dulu tidak menjamin kini. Kini tidak menjamin masa depan. Dulu pernah brengsek, sekarang bisa tidak. Ke depannya pun bisa iya ATAU tidak. Pilihan itu mahal harganya karena tidak bisa mundur.”
Jadi aku yang masih disini, mungkin tidak ada seperempatnya pasangan buta itu. Tapi aku sudah setia dan ingin terus setia. Pilihanmu aku hargai dan aku juga akan jalani pilihanku.
Sendja mungkin akan berbeda esok dan esokannya lagi. Tapi aku akan tetap disini, menunggu dan setia.
Ps : tentang lelaki tua tadi, untuk pertama kalinya aku turun di hari hujan, memberi uang seadanya tepat di genggaman tangannya. Ya, aku meraih tangannya untuk membukanya, agar kebahagiaan sedikit tertular ke aku. Agar kesabaran dan penantian(nya) mendewasakanku.
No comments:
Post a Comment